SURABAYA, PEWARTAPOS.COM – Kamis (13/4/2023) malam, di Pendopo Balai Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur Jl. Gentengkali Surabaya, lamat-lamat terdengar alunan gending dengan pelantunan syahdu tembang-tembang Macapat oleh sekelompok laki-laki yang duduk berderet menggunakan pakaian tradisional Jawa.
Sesekali setelah satu tembang selesai, pembawa acara pun memberikan sedikit narasi dan arti dari tembang yang telah dibawakan sebelum melanjutkan tembang berikutnya. Indah dan syahdu sekali. Sementara penonton nampak khidmad mengikuti alunan bait demi baik Macapat yang dialunkan.
Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa, dimana setiap baitnya mempunyai baris kalimat yang disebut gatra. Setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu.
Macapat dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan di daerah lain, seperti Kabupaten Sumenep, Bali, Malang, Sunda, Banjarmasin dan bahkan di Palembang.
Macapat bisa diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Macapat diperkirakan muncul pada akhir jaman Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisongo ketika menyebarkan agama Islam. Namun di Jawa Timur dan Jawa Tengah, Macapat ini sudah menjadi tradisi leluhur, terutama disaat Bulan Purnama.
“Kalau di Jawa Timur yang masih eksis selain di Surabaya, di Pendopo Kabupaten Blitar setiap malam Jumat Legi, di Pendopo Trowulan setiap malam Jumat Kliwon. Ada juga kelompok di Malang, Magetan dan beberapa daerah lain,: ujar Romo Brojo, sesepuh dari Perkumpulan Macapat Sekar Palupi yang malam itu tampil apik.
Sedang Cak Bas, Sekretaris Perkumpulan Tunggak Jati, pria berkaca mata dengan udeng Bali yang hadir di acara tersebut, mengisahkan, kehadiran Macapatan di Pendopo Balai Budaya ini merupakan kegiatan rutin setiap kamis minggu kedua.
“Sebenarnya Perkumpulan Tunggak Jati membina beberapa kebudayaan asli Nusantara, tinggalan leluhur, yakni Reog, Jaranan, Punokawan, Junjung Drajat dan Macapat. Namun yang baru mendapat kesempatan tampil di Balai Budaya ini baru Macapat,” ujarnya.
Sedang Bambang, Bidang Publikasi dan Dokumentasi Balai Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur, menerangkan, kegiatan Macapat ini merupakan upaya pemerintah dalam melestarikan budaya bangsa.
“Meskipun dengan segala keterbatasan yang ada, kami tetap berusaha untuk memfasilitasi pelestari-pelestari budaya leluhur ini agar tidak musnah atau bahkan bisa diambil negara lain. Kesenian adalah maha karya tinggi yang diwariskan nenek moyang dan kita berkewajiban melestarikan agar jangan punah,” katanya. (joe)